Hariandetik.online, | NTT,
TBC? Siapa yang tidak kenal dengan ketiga huruf tersebut, yang menjadi momok yang masih menakuti masyarakat hingga saat ini. Penyakit yang umumnya menyerang organ paru-paru ini sering menimbulkan pandangan yang buruk di masyarakat. Sering disebut sebagai penyakit turunan ataupun kutukan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT, jumlah pasien TBC di NTT meningkat dari 2561 pada tahun 2015 menjadi 6583 di tahun 2018 dan 9535 di tahun 2023.
Jumlah pasien TBC yang semakin meningkat ini menunjukkan urgensi penyebaran informasi tentang penanganan TB kepada masyarakat. Untuk mengenali lebih
baik tentang TBC, Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia NTT (PD IAI NTT) berkolaborasi dengan TVRI NTT dalam dua segmen acara dialog interaktif di Siaran Sore TVRI NTT, yaitu ”Solusi Sehat” dengan tema ’TBC: Kenali, Kendalikan dan Akhiri’, pada tanggal 18 Juni 2024 dan ”K’tong Ba’omong” dengan tema ’Upaya Mengatasi TBC’ pada tanggal 19 Juni 2024. L
Kedua acara dialog interaktif ini dipandu oleh Ireni Alexandria Garu (Solusi Sehat) dan John Hayon (K'tong Ba'omong) serta melibatkan beberapa narasumber dari PD IAI NTT yaitu apt. Maria Philomena Erika Rengga, M.Farm-Klin (Sekretaris PD IAI NTT), apt. Devi Sandi (Ketua Himpunan Seminat Farmasi Kesehatan Masyarakat /Hisfarkesmas NTT) dan apt. Nur Oktavia, M.Farm.Klin (Wakil Ketua V PD IAI NTT).
Penyakit TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut dapat menyebar saat orang dengan TBC batuk, bersin ataupun meludah. Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri ini akan menunjukkan gejala penyakit TBC, karena bakteri ini bisa saja dalam kondisi dorman atau tidur dan juga jika kondisi tubuh sedang lemah. Selain paru, bakteri ini juga bisa menyerang organ lain, seperti tulang, otak, ginjal, dan kulit. Dalam segmen ”Solusi Sehat TVRI NTT”, apt. Maria P.E. Rengga, M.Farm-Klin, yang sering disapa apt. Rilke, menerangkan bahwa bakteri penyebab TBC mudah menginfeksi orang-orang yang mengalami imunokompromi seperti pasien HIV, usia dini ataupun usia lanjut, dan juga orang-orang dengan penyakit kronis seperti diabetes melitus.
”Penyakit TBC dapat dikenali oleh gejala awal berupa batuk yang berkepanjangan, batuk berdarah, demam, hingga penurunan berat badan drastis dalam waktu tertentu tanpa sebab yang jelas. Jadi jika tampak gejala-gejala ini segera periksakan diri ke puskesmas terdekat,”terang apt. Rilke. Tindakan pencegahan untuk menghindari terjadinya penularan bakteri TBC pun dapat dilakukan. apt. Rilke menerangkan bahwa TBC dapat dikendalikan dan diakhiri.
Pengendalian dilakukan dengan tindakan pencegahan penularan, seperti vaksinasi BCG (salah satu program vaksin wajib di Indonesia untuk bayi), menjaga etika batuk dan bersin, penggunaan masker N95 terutama bagi pasien TBC, menerapkan pola hidup bersih dan sehat, menghindari rokok, dan lainnya. TBC dapat diakhiri dengan menggunakan terapi antibiotik kombinasinya dengan tepat sesuai aturan penggunaan selama 4-6 bulan.
Dalam dialog interaktif ”K’tong Ba’omong”, apt. Rilke menghimbau agar masyarakat yang menunjukkan gejala -gejala penyakit TBC untuk langsung memeriksakan diri ke puskesmas terdekat. Pasien akan menjalani pemeriksaan penunjang di laboratorium untuk memastikan seseorang terinfeksi TBC.
Pasien TBC tidak perlu mengkhawatirkan tentang biaya untuk terapi TBC karena pengobatan penyakit ini sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah RI. ”Pengobatan untuk penyakit TBC akan diberikan secara gratis melalui puskesmas-puskesmas di seluruh Indonesia,”terang apt. Nur Oktavia, M.Farm.Klin dalam segmen ”K’tong Ba’omong”.
Narasumber lainnya dalam ”K’tong Ba’omong”, apt. Devi Sandi selaku Ketua Himpunan Seminat Farmasi Kesehatan Masyarakat (Hisfarkesmas) PD IAI NTT, menerangkan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir terkait biaya untuk terapi TBC karena Kementerian Kesehatan RI telah mencanangkan gerakan TOSS TBC (Temukan Tuberkulosis, Obati Sampai Sembuh TBC) di Indonesia untuk menyembuhkan serta menghentikan penularan TBC di masyarakat. Gerakan ini diharapkan dapat menurunkan 90% insiden TBC dan 95 % kematian akibat TBC pada tahun 2030. ”Untuk dapat sembuh dari TBC, pasien harus mengikuti terapi minum obat yang berlangsung selama 6 bulan dan terbagi menjadi 2 bulan fase awal (intensif) dan 4 bulan fase lanjutan. Terapi yang rutin selama 6 bulan ini ditujukan untuk membunuh dan memastikan eliminasi bakteri penyebab TBC dari tubuh pasien,” jelas apt. Devi Sandi.
Tantangan terbesar dari penanganan penyakit TB muncul dari stigma atau pandangan negatif masyarakat terhadap penyakit TBC. apt. Devi Sandi membagikan kisah salah satu pasien TB berusia 16 tahun yang sempat mengalami gagal terapi fase awal, karena sering diejek oleh teman-temannya dengan panggilan ’TBC, TBC’ saat pasien akan minum obat. Kurangnya pengetahuan tentang TB serta pengobatannya menjadi penyebab timbulnya stigma ini. Banyak masyarakat yang masih menganggap TBC sebagai penyakit turunan atau bahkan kutukan, sehingga pasien penyakit TB cenderung dikucilkan.
Kondisi ini sangat merugikan bagi pasien TB. ”Penyakit TB menjadi berbahaya jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Sayangnya, pasien TB cenderung merasa malu, takut dan khawatir karena harus minum obat dalam jangka waktu panjang. Kami harapkan agar pasien tidak perlu khawatir dan bahwa penyakit TBC bisa sembuh. Jika khawatir tentang penggunaan obatnya, dapat bertanya kepada apoteker tentang keamanan obat tersebut,”jelas apt. Nur Oktavia. Untuk membantu pasien TBC minum obat teratur, apt. Devi Sandi juga mejelaskan bahwa apoteker di puskesmas akan memberikan konseling dan edukasi dengan tepat, serta mengawasi kepatuhan minum obat pasien melalui buku kontrol sehingga meningkatkan keberhasilan terapi meski dilakukan untuk waktu yang tidak singkat.
Ketakutan dan kekhawatiran masyarakat terhadap terapi obat TBC dapat dihindari dengan pemberian informasi yang tepat. Informasi ini bisa didapatkan dari apoteker di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan, seperti apotek, puskesmas ataupun rumah sakit. Untuk meningkatkan penyebaran informasi mengenai pengobatan TBC, Ikatan Apoteker Indonesia pada ulang tahun ke-69 ini, mengeluarkan program”Apoteker Bertamu”. Program ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi kepada masyarakat tentang TBC serta pengobatannya dan penggunaan obat dengan tepat. Apoteker Bertamu, yang akan diluncurkan pada hari Sabtu 22 Juni 2024 nanti, merupakan program nasional terbaru dari IAI yang merupakan kelanjutan dari program ” Kampung ASK Me Dagusibu” yang dicanangkan pada ulang tahun IAI yang ke-68. Program ini merupakan salah satu implementasi dari pelayanan ”Home Care” dari apoteker dan diharapkan agar masyarakat bisa mendapatkan informasi tepat tentang obat, sesuai dengan slogan IAI, ”Tanya Obat? Tanya Apoteker!”**(Marco).