Hariandetik.online, | NTT,
Kasus ini berawal dari perselisihan keluarga terkait hak asuh anak. Peristiwa terjadi saat terdakwa Yonatan Seingu Ubu Lage meminta anaknya dari korban Louru Peda.
Ketegangan meningkat menjadi kekerasan fisik yang melibatkan terdakwa lainnya, Robinson Ubu Lage, yang berujung pada cedera bagi kedua korban.
Saksi korban, Debora Laka Doro Moto, mengalami luka di leher akibat cekikan, sedangkan korban Louru Peda mengalami cedera serupa.
Penyampaian ini dijelaskan Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejaksaan Tinggi NTT, A.A Raka Putra Dharmana, dalam rilis yang diterima media pada 18/11/24.
Ditambahkannya, Setelah penyerahan perkara ke kejaksaan pada 4 November 2024 lalu, proses mediasi dilaksanakan dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat.
Pada 5 November 2024, para terdakwa dan korban mencapai perdamaian sukarela, yang menjadi dasar pengajuan penghentian penuntutan melalui mekanisme keadilan restoratif.
Senin, 18 November 2024, ekspose virtual terkait permohonan penghentian penuntutan diajukan oleh Kejaksaan Negeri Sumba Barat untuk kasus keluarga melibatkan terdakwa Robinson Ubu Lage alias Robi dan Yonatan Seingu Ubu Lage alias Natan, yang melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 KUHP.
Ekspose ini dipimpin oleh Direktur Orang dan Harta Benda pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Nanang Ibrahim Soleh, S.H., M.H., dan dihadiri oleh Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi NTT, Ikhwan Nul Hakim, S.H., serta jajaran Kejati NTT secara virtual.
Penghentian penuntutan ini diputuskan berdasarkan sejumlah kriteria penting yaitu:
1. Para terdakwa adalah pelaku pidana pertama kali.
2. Ancaman pidana untuk kasus ini tidak lebih dari 5 tahun.
3. Perdamaian dicapai tanpa tekanan atau syarat khusus.
4. Hubungan adat antara terdakwa dan korban menunjukkan aspek sosial yang kompleks.
Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) terus menunjukkan dedikasi terhadap penerapan keadilan restoratif yang mengedepankan prinsip pemulihan, bukan hanya penghukuman.
Langkah ini menjadi bagian penting dalam upaya menciptakan keadilan yang lebih humanis, inklusif, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Penerapan keadilan restoratif merupakan bagian dari upaya Kejati NTT untuk mewujudkan sistem hukum yang lebih responsif terhadap konteks sosial masyarakat. Hingga November 2024, Kejati NTT telah menyelesaikan 44 kasus melalui mekanisme ini.
Beliau juga menjelaskan bahwa Kepala Kejaksaan Tinggi NTT turut menegaskan terkait pendekatan keadilan restoratif yang akan terus diterapkan secara selektif untuk kasus-kasus yang memenuhi kriteria hukum formal dan material.
Hal ini dilakukan demi menciptakan harmoni dalam masyarakat sekaligus memperkuat rasa keadilan.
Sebagai bagian dari Kejaksaan RI, Kejati NTT berkomitmen untuk terus memperkuat perannya dalam memastikan bahwa hukum tidak hanya menjadi alat penegakan, tetapi juga menjadi sarana membangun masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan sejahtera.
Kejati NTT menegaskan akan melanjutkan penerapan prinsip-prinsip keadilan restoratif, sejalan dengan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020, untuk memberikan solusi hukum yang mengutamakan keadilan bagi semua pihak. (MN)